Rabu, 07 Mei 2014

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM “MU’AMALAT KELUARGA DAN PERNIKAHAN SERTA KEWARISAN”

MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“MU’AMALAT KELUARGA DAN PERNIKAHAN SERTA KEWARISAN”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu : Drs. Imam Suyanto, M. Pd
 








Disusun Oleh :
1.      Yetty Wahyunungsih
2.      Yogi Rahkmawati
3.      Anis Muallifah Fatimatus Sa’diyah
4.      Annas Hidayatulloh
5.      Arif Wahyudi
6.      Awalus Sa’diyah
7.      Bening Sri Palupi

PROGRAM S-1 PGSD KAMPUS VI KEBUMEN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Mu’amalat, Keluarga dan Pernikahan serta Kewarisan. Makalah ini merupakan tugas kelompok dan disusun untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan Agama Islam mahasiswa progam S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Kampus VI Kebumen Tahun 2013/2014.
Makalah ini dapat terselesaikan berkat dorongan dan perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :
1.      Drs. Imam Suyanto, M. Pd , selaku koordinator pelaksana progam S1 PGSD Universitas Sebelas Maret Kampus VI Kebumen sekaligus sebagai dosen pengampu mata kuliah pendidikan agama Islam.
2.      Orang tua yang telah memberikan dana , dukungan, semangat serta doa yang selalu dipanjatkan pada-Nya
3.      Rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang telah membantu
Semoga apa yang telah diberikan kepada penulis dapat menjadi amal yang     bermanfaat serta mendapat imbalan yang lebih banyak dari Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya , bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu , kritik dan saran yang bersifat membangun selalu penyusun nantikan demi peningkatan kualitas pada masa yaang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membacanya.
                                   
                                                                              Kebumen, November 2013
                                                                 
                                                                                          Penulis




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................   i
KATA PENGANTAR..........................................................................   ii
DAFTAR ISI.........................................................................................   iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah.............................................................  1
B.     Rumusan Masalah....................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Mu’amalat, Pengertian dan Ruang Lingkupnya.........................  2
B.     Keluarga dan Pernikahan...........................................................   2
C.      Kewarisan atau Fara’id.............................................................   11

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................  22        
B.     Saran..........................................................................................   23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................   24

 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perbuatan masyarakat islam yang terdapat dalam perbuatan pidana, perdata yang mekiputi perkawinan, muamalah, perkawinan diatur dalam setiap hukum yang meliputi asas itu sendiri.
Sesuatu hal yang paling mendasar dari tiap hukum tercantum dari asas itu sendiri, sehingga kita perllu mengetahui pengertian asas itu terlebih dahulu agar diketahui kejelasnnya.
Asas dalam hukum islam terbagi menjadi dua, yaitu asas umum yangmencantum segala ketentuan semua hukum dalam islam itu sendiri. Dan asas khusus yang meliputi asas dalam hukum pidana, muamalah, kewarisan. Pernikahan, dan kewarisan. Asas umum itu sendiri meliputi asas keadilan yang selalu ditegaskan dalam islam untuk selalu ditegakkan dalam kehidupan masyarakat. Asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan juga terdapat didalamnya.
Asas khusus itu sendiri seperti asas legalitas dalam hukum pidana, asas suka sama suka dalam hukum muamalah, asas individual dalam hukum kewarisan, dan asas kekeluargan dalam hukum perkawinan, dan masih banyak lagi asas khusus itu sendiri. Karena itulah dalam hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab-bab selanjutnya dalam makalah ini.


B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana pengertian mu’amalat dan ruang lingkupnya ?
2.      Apa pengertian keluarga dan pernikahan ?
3.      Apa hukum kewarisan dan Asas – asas dalam Islam ?








BAB II
PEMBAHASAN

1.      MU’AMALAH , PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUPNYA.
Perkataan mu’amalat mengandung makna pengaturan hubungan antar manusia. Hubungan yang diatur syari’at mu ‘amalat adalah hubungan perdata dan hubungan public. Hubungan perdata adalah hubungan individu dengan individu , hubungan individu dengan benda. Hubungan public adalah hubungan individu dengan masyarakat umum atau negara. Didalam Al- Qur’an terdapat 228 ayat syari’at mu’amalat. Di antara 228 ayat syari’at mu’amalat ini ada yang sifatnya zanni dan ada yang qath’i. Yang zanni mengandung berbagai kemungkinan arti , dapat dikembangkan melalui ijtihad atau penalaran manusia yang memenuhi syarat. Yang qath’i sudah jelas artinya, tidak mungkin diartikan lain selain dari makna yang terdapat dalam ayat itu. Contohnya adalah syari’at atau hukum yang mengatur soal perkawinan dan kewarisan. Yang zanni melalui ijtihad sebagai sumber pengembangan dapat menampung pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah dari masa ke masa. Masalah bayi tabung, pencakokan kornea mata dan ginjal misalnya, dan masalah – masalah kemasyarakatan yang timbul akibat perkembangan ilmu dan teknologi dapat saja ditentukan hukumnya dan dipecahkan masalahnya dengan mempergunakan ijtihad. Dan sebagaimana telah diuraikan dimuka, kaidah asal mu’amalah adalah ibahah atau jaiz artinya boleh sama dilakukan asal tidak bertentangan dengan ketetapan Alloh dan ketentuan Rosul yang sudah qath’i serta jiwa Agama Islam pada umumnya.Tujuh puluh ayat atau sekitar tiga puluh persen ayat mu’amalat adalah mengenai keluarga atau syari’at yang mengatur hubungan individu dalam keluarga.
2.   KELUARGA DAN PERNIKAHAN
Keluarga adalah kesatuan terkecil masyarakat yang anggotanya terikat secara batiniah dan hukum karena pertalian darah dan pertalian perkawinan. Bentuk keluarga batih atau keluarga inti atau nuclear family dalam masyarakat Barat (Modern) terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dengan beberapa anak atau tanpa anak. Keluarga batih menurut ajaran Islam lebih besar dari itu sebab, keluarga inti menurut ajaran Islam terdiri dari seorang suami, istri dan anak –anak beserta kedua atau salah seorang orang tua suami dan atau istri.Kendatipun ikatan keluarga menurut ajaran Islam adalah pertalian darah, namun pertalian drah itu tidak menimbulkan system penariakan garis keturunan secara patrilinial dan matrilineal sseperti dalam masyarakat tradisional berklen, bermarga, bersuku misalnya.
Jika dipelajari dengan seksama larangan – larangan perkawinan yang disebutkan dalam Al- Qur’an surat an – Nisa ayat 22,23,24 jelas bahwa ke dalam larangan perkawinan itu tidak termasuk semua bentuk perkawinan sepupu baik cross maupun paralle cousin. Perkawinan cross cousin atau perkawinan silang adalah perkawinan antara anak dua bersaudara, seorang laki – laki dan seorang perempuan. Perkawinan paralle cousin adalah perkawinan sejajar antara anak dua orang bersaudara sama – sama laki- laki atau sama – sama perempuan. Dalam system bilateral, setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan baik kepada ayahnya maupun kepada ibunya seperti dalam masyarakat bilateral Aceh dan Jawa. Namun, demikian Hazairin lebih lanjut, kesatuan kekeluargaan bilateral yang anggota – anggotanya menarik garis keturunan ayah dan ibu melalui pertalian darah, bukan karena diikat oleh pertalian tempat atau daerah tempat tinggal yang sama, seperti yang dijumpai di Jawa misalnya.
Dalam keluarga, masing – masing anggota mempunyai kedudukan tertentu yang menimbulkan wewenang, hak dan kewajiban. Suami misanya, menurut ajaran Islam mempunyai kedudukan sebagai kepala keluarga, sedangkan istri berkedudukan sebagai kepala rumah tangga (Q.S 4: 34). Mempunyai kedudukan yang seimbang (Q.S 2: 228) menurut kodratnya masing – masing dan menjaga serta memelihara keseimbangan itu agar pergaulan hidup dalam keluarga berkembang dengan baik, bahagia saling cinta mencintai dan saling menyayangi(Q.S 4 : 19,30,21). Suami adalah mitra (pasangan) istri, demikian juga sebaliknya. Karena keseimbangan kedudukannya itu, dalam hal tertentu, wewenang hak dan kewajiban suami istri adalah sama. Kalaun ada perbedaan, perbedaan itu akan menimbulkan hak dipihak yang satu dan menambahkan kewajiban di pihak lain. Perbedaan hak dan kewajiban itu, sebagai konsekuensi perbedaan kodrat masing – masing, menyebabkan masing – masing suami istri melaksanakan tugas yang berbeda di atas dasar persamaan derajat. Persamaan derajat meninbulkan persamaan tanggung jawab dalam memelihara dan mendidik anak – anak (al - Hadist) serta meelihara kesucian kehidupan keluarga baik dalam maupun luar rumah tangga (Q.S 66: 6,4: 34) dan suami istri harus bertempat tinggal di tempat kediaman yang sama (Q.S 65 : 6). Suami istri sebagai orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak – anaknya, sejak anak itu masih berada dalam kandungan, lahir sampai dewasa. Kewajiban orang tua mendidik anak – anaknya berlangsung selama hidup, dengan misalnya memberikan suri tauladan yang baik yang dapat dicontoh oleh anak – anak, kendatipun mereka elah kawin atau dewasa. Anak – anak yang menjadi kewajiban orang tua untuk mendidiknya, karena kedudukanya dalam keluarga menurut hukum adalah anak sah yakni anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah yaitu menurut hukum agama yang dipeluknya. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai hibungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.Anak angkat menurut ajaran Islam tidak sama kedudukannya dengan anak kandung (Q.S 33: 4,5), mengenai pewalian dalam perkawinan dan kewarisan. Ini berarti bahwa orang tua angkat tidak dapat menjadi wali anak angkatnya, juga tidak dapat menjadikan anak angkatnya menjadi ahli warisnya sama kedudukannya dengan ank kandungnya. Sebab, karena pengangkatan dan pengadopsian anak menurut ajaran Islam, hubungan darah anak angkat tidak terputus dengan orang tua kandungnya.
Sebagi akibat kedudukannya dalam keluarga, disamping mempunyai hak, seorang anak mempunyai kewajiban terhadap orang tuanya, kewajiban itu antara lain adalah menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik. Menurut ajaran Islam, kehendak orang tua yang tidak baik dank arena itu tidak wajib ditaati adalah kehendak menyekutukan Alloh dengan apapun juga. Kendatipun kedua orang tua tidak boleh dibeda – bedakan karena derajatnya sama. Namun, menurut ajaran Islam bakti kepada ibu lebih didahulukan atau diutamakan dari bakti kepada ayah, sebab ibulah yang mengandung seseorang dalam keadaan (badan) yang lemah, menyusukan dan merawatnya ketika masih kecil (Q.S 31: 14) mendidik anak itu ketika nalurinya baru mulai tumbuh dan berkembang. Oleh karena jasa orang tua terutama ibu, maka jika seorang anak telah dewasa, ia wajib memelihara kedua orang tuanya. Setelah orang tuanya meninggal dunia, anak wajib menepati wasiat atau janji kedua orang tuanya, baik itu janji kepada Alloh maupun janji kepada sesama manusia.
Keduduka keluarga sangat penting dalam ajaran Islam. Karena itu keberadaanya tidak mungkin dihilangkan. Sebabnya adalah, karena keluarga merupakan sumbu tempat seluruh kehidupan manusia berputar. Oleh karena itu pula, hubungamn antar anggotanya diatur secara jelas dan rinci dalam Al- Qur’an. Dari 228 ayat hukum mengenai kehidupan sosial, 70 ayat  adalah ayat yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan. Pengaturan itu ditentukan demikian, agar masing -  masing anggota dapat melaksanakn tugasnya dengan baik, tidak hanya pelaksanaan tugas dalam menyelenggarakan fungsi esensial keluarga seperti misalnya melanjutkan keturunan. Karena pentingnya kedudukan keluarga seperti yang sudah disinggung diatas, menurut ajaran Islam  pembentukannya harus dilakukan menurut jalna dan ketentuan yang telah ditetapkan yakni melalui perkawinan. Menurut Anwar Harjono (Anwar harjono, 1968 : 219) perkawinan atau pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki – laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia. Rumusan ini memenuhi 3 aspek penting lembaga perkawinan yaitu perkataan dan perjanjian menunjukkan aspek :
1)      Hukum lembaga tersebut
Sebagai perjanjian (Q.S 4: 21) perkawinan mempunyai tiga sifat  yaitu:
a)      Tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak.
b)      Ditentukan tata cara melaksanakannya dan tata cara pemutusannya kalau perjanjian itu tidak dapat terus dilangsungkan.
c)      Ditentukan pula akibat  - akibat perjanjian itu bagi kedua belah pihak.
2)      Aspek sosial embaga perkawinan, tampak pada kenyataan dalam masyarakat.
3)      Aspek keagamaan tergambar dalam kata “ suci “ rumusan itu.
Menurut hukum Islam tujuan perkawinan atau pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dan menciptakan rumah tangga yang bahagia(sakinah) yang diliputi oleh suasana damai dan tentram karena dibina oleh rasa cinta dan kasih sayang(mawadah warahmah) di dalamnya. Dalam pasal 1 Undang – Undang Perkawinan tahun 1974 tujuan ini dirumuskan dengan kata – kata “ membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Asal hukum melakukan perkawinan, dilihat dari lima kategori kaidah hukum Islam yang disebut al – ahkam, al – khamsah, yaitu :
1)      Ibahah , jaiz atau kebolehan.
Hukum ibahah, jaiz atau kebolehan melakukan perkawinan bisa berubah atau beralih menjadi sunnat, wajib, makruh, dan haram tergantung pada illatnya. Illat adalah penyebab ada atau tidaknya hukum dimaksud pada suatu benda atau perbuatan.
2)      Sunnat
Kalau dipandang dari segi pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan mental dan kesiapan membiayai kehidupan rumah tangga telah benar – benar ada pada orang yang bersangkutan.
3)      Wajib
Seseorang telah cukup matang untuk beruma tangga, baik dilihat dari segi jasmani maupun dari kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya tidak terjerumus ke jurang perzinaan.
4)      Makruh
Jika seseorang yamg belum siap baik jasmani maupun mental serta biaya rumah tangga.
5)      Haram
Melanggar larangan – larangan perkawinan. Seperti beristri sebanyak – banyaknya 4 orang pada waktu bersamaan bagi seorang laki – laki, mempunyai suami lebih lebih seorang bagi wanita yang terikat dalam ikatan perkawinan dengan laki – laki dan sebagainya.
Pernikahan harus memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah dalan hukum Islam adalah :
a)      Calon suami,
b)      Calon istri,
c)      Wali, orang yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin perempuan.
d)     Dua orang saksi yang memenuhi syarat,
e)      Ijab kobul. Ijab menurut katanya adalah menawarkan tanggung  jawab dan kobul artinya menerima tanggung jawab itu.
Dan syarat nikah yaitu:
a)    Persetujuan kedua belah pihak, persetujuan ini merupakan syarat mutlak untuk melangsungkan perkawinan.
b)    Mahar, adalah hak mutlak calon pengantin perempuan dan kewajiban calon pengantin laki – laki untuk memberiya setelah akad nikah dilangsungkan.
c)    Tidak boleh melanggar larangan – larangan perkawinan.
Larangan – larangan perkawinan itu adalah:
·      Larangan perkawinan karena perbedaan agama.
     Larangan ini ditunjukan kepada laki – laki sebagaimana disebutkan dalam (Q.S 2 :221) dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa laki – laki muslim tidak boleh mengawini wanita musyrik sebelum ia beriman dan juga laki- laki muslim tidak boleh mengawinkan laki – laki musyrik dengan perempuan beriman sebelum laki – laki musyrik itu beriman.
    Larangan ditunjukan kepada wanita muslim untuk kawin dengan laki – laki non muslim.
·      Larangan perkawinan karena hubungan darah
    Larangan ini tercantum dalam surat an – Nisa :23 antara lain larangan mengawini ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ibu, saudara perempuan ayah, anak perempua saudara laki – laki, anak perempuan saudara perempuan.
·      Larangan perkawinan karena hubungan kekeluargaan yang disebabkan perkawinan.
          Menurut Q.S An-Nisa (4) : 23 ditegaskan bahwa larangan (1) Mengawini mertua perempuan (2) Anak tiri perempuan yaitu anak istri yang telah dicampuri yang berada dalam ‘pemeliharaan’ seseorang (3) Menantu perempuan (4) dua wanita bersaudara dan (5) Ibu tiri yaitu wanita-wanita yang (telah) pernah dinikahi oleh ayah seseorang. Larangan perkawinan yang keempat adalah larangan perkawinan yang dikarenakan hubungan sepersusuan. Larangan ini disebutkan dalam Q.S An-Nisa (23) dijelaskan bahwa Larangan mengawini (1) Ibu susu yaitu wanita yang menyusukan seseorang waktu ia masih kecil (2) Saudara sepersusuan yaitu orang yang pernah menyusu pada ibu susu yang sama. Hubungan sepersusuan ini dalam Al-Quran dekatnya sama dengan hubungan darah. Larangan perkawinan yang kelima adalah larangan khusus bagi wanita yaitu poliandri. Larangan ini tersirat dalam Al-Quran Q.S An-Nisa (24) dalam ayat ini disebutkan larangan bagi laki-laki untuk mengawini perempuan yang sedang bersuami. Sebabnya adalah karena dalam hukum suami perkawinan dan kewarisan islam soal kemurnian keturunan sangat penting dan menetukan.
Dalam pasal 8 UU Perkawinan Indonesia disebutkan larangan perkawinan antara dua orang yang :
a.    Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas
b.    Berhubungan darah dalam keturunan menyamping yaitu saudara , antara    seorang dengan saudara orang tua dan antar seorang dengan saudara neneknya.
c.    Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d.   Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan , anak susuan , saudar susuan dan paman /bibi susuan
e.    Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan isteri , dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f.     Yang mepunyai hubungan dimana dalam agama atu peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Syarat perkawinan umat islam di Indonesia adalah pencatatan. Oleh karena itu Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam (1991) yang berlaku sebagai hukum terapan bagi umat Islam Indonesia mengaskan , “setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan tanpa akta nikah adalah perkawinan yang tidak sah dan karena itu tidak dilindungi hukum di Indonesia.
Perkawinan siri adalah perkawinan diam-diam , perkawinan terselubung. Perkawinan yang tidak dicatat dan tidak dilangsungkan didepan Pegawai Pencatat Nikah adalah perkawinan yang tidak sah menurut hukum perkawinan yang berlaku juga bagi umat Islam Indonesia.
Berkenaan dengan perkawinan dan rumah tangga , ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan dalam Islam yaitu sebagai berikut :
1.    Monogami adalah perkawinan seorang (suami) dengan seorang (istri). Monogami dijelaskan dalam Q.S An-Nisa ayat (3)  “jika kamu takut tidak dapat berlaku adil kawinilah seorang wanita saja’’.
2.    Poligami adalah perkawinan yang salaha satu pihaknya mengawini beberapa lawan jenis nya dalam waktu yang bersamaan dalam bentuk :
a.    Poligini adalah seorang suami kawin dengan lebih dari satu istri
b.    Poliandri adalah seorang istri memiliki suami lebih dari satu
Larangan poliandri terdapat dalam Q.S An-Nisa ayat 24.
Syarat-syarat seorang suami jika hendak beristri lebih dari satu :
1.    Istrinya tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri karena berbagai hal dan keadaan
2.    Istrinya mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.    Istrinya tidak dapat melahirkan keturunan
4.    Adanya persetujuan istri-istrinya
5.    Ada kepastian bahwa ia mampu menjamin keperluan hidup istri-istri serta anak-anaknya
6.    Ada jaminan bahwa semua itu akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Perceraian dalam Islam bisa saja terjdi dalam bentuk :
1.    Cerai Hidup  atau disebut cerai benci adalah perceraian yang terjadi sewaktu suami istri masih hidup. Ini bisa terjadi karena inisiati suami atau istri , permintaan suami atau istri , salah satu pihak berzina atau menjadi pemabuk , salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukumanya yang lebih berat lagi, salah satu pihak melakukan penganiayaan , salah satu pihak mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan , antara suami dan istri terjadi perselisihan secara terus-menerus.
2.    Cerai mati adalah cerai karena salah satu dari suami ada yang meninggal.
Jika perceraian atas inisiatif suami maka disebut talak. Talak adalah hak suami untuk menceraikan istrinya dengan mengucapkan kata-kata tertentu. Macam-macam Talak :
1.    Talak Khuluk yaitu talak tebus karena istri memberikan sesuatu benda atau uang sebagai tebusan kepada suami agar suaminya menjatuhkan talak padanya supaya mereka bisa bercerai.
2.    Ta’lik talak yakni talak yang kabul dilangsungkan dipengadilan.
3.    Talak biasa
Kalau perceraian terjadi atas inisiati istri , maka dinamakan fasakh. Fasakh adalah bentuk perceraian yang terjadi atas permintaan istri karena suaminya sakit gila , dan sakit berbahaya lainya.


K.  KEWARISAN / FARA’ID
          Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak atas harta seseorang setelah  ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id,  karena adanya bagian-bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu. Kata fara’id seakar dengan  faridah artinya kewajiban, yang dekat hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbernya adalah Al-Qur’an , terutama surat an-Nisa (4) ayat 11, 12, 176 dan Sunnah Nabi Muhammad yang kemudian dikembangkan secara rinci oleh para ahli hukum fikih Islam melalui ijtihad orang yang memenuhi syarat (itjihad adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mengalirkan garis-garis hukum dari Al-Qur’an dan Al-Hadist).
Q.S an-Nisa ayat 11, 12 , 176
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١)
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (١٢)
Artinya :
11.  Allah mewasiatkan (mensyari'atkan) kepadamu tentang (pembagian harta warisan untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; Maka jika anak (ahli waris) itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga (2/3) dari harta yang ditinggalkan; Dan jika anak perempuan (ahli waris) itu seorang saja, maka ia memperoleh separo (1/2) harta. Dan untuk dua orang bapak-ibu, masing-masing mendapatkan bagian seperenam (1/6) dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; Maka jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia mewariskan (mempusakai) bapak-ibu (saja), maka ibunya mendapat sepertiga (1/3); Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (1/6), (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar (lunas) semua hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12.   Dan bagimu (para suami) separo (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka (isteri-isterimu yang telah meninggal) tidak mempunyai anak. Dan jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah semua hutangnya dibayar (lunas). Dan para isteri memperoleh seperempat (1/4) dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu (para suami yang telah meninggal) mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan (1/8) dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar (lunas) semua hutangmu. Jika seseorang meninggal baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam (1/6). Akan tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga (1/3), sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar (lunas) semua hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at (perintah) yang benar-benar dari Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Q.S an-Nisa ayat  176
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya :
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 
Sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Illahi yang disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan sunnahnya, hukum kewarisan Islam mengandung asas-asas diantaranya terdapat juga dalam hukum kewarisan buatan akal manusia. Namun, karena sifatnya yang sui geneis (berbeda dalam jenisnya), hukum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri. Ia merupakan bagian agama Islam dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah serta akhlak seorang muslim.
          Asas-asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantaranya :
1.              Asas Ijbari
Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya  berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas keharusan untuk dilaksanakan dalam hukum kewarisan Islam itu terlihat dari kewajiban ahli waris menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu calon pewaris yaitu orang yang akan meinggal dunia pada suatu ketika, perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak karena kematiannya , secara otomatis hartanya akan beralih kepada warisnya dengan perolehan yang sudah dipastkan.
Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat pula dilihat dari beberapa segi yaitu:
a.    Segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia
b.    Jumlah harta yang sudah ditentukan untuk masing-masing waris, yang dapat berubah atas persetujuan dan keikhlasan para ahli waris yang diperoleh dari hasil permusyawaratan atau perdamaian antara mereka. Cara membagi harta peninggalah perdasarkan perdamaian ini disebut sulh (dalam bahasa daerah kadang-kadang dinamakan soloh atau suluh. Dasarnya adalah al-Qur’an(4) 128. Dalam ayat terssebut Allah menyebutkan (kalau dihubungkan dengan pembagian warisan) as-sulhu-khair. Artinya berdamai (dalam pembagian waris) adalah baik. Tentu saja, jika jalan ini ditempuh kepada para pihak dijelaskan pergandingan bagian masing-masing, misalnya bagian laki-laki dan wanita berbanding 2:1. Tetapi dengan sulh perbandingan itu bisa menjadi 1:1 atau 1:2 dan sebagainya.
c.    Mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan itu, yang sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah atau ikatan perkawinan dengan pewaris.
2.    Asas Bilateral
Berarti bahwa seorang menerima hak pewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dari Q.S An-Nisa (4) ayat 7, 11, 12 dan 176. Di dalam ayat 7 surat tersebut ditegaskan bahwa orang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga ibunya. Demikian halnya dengan perempuan, ia berhak mendapat warisan menurut asas bilateral.


3.    Asas Individual
Menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
4.    Asas keadilan yang berimbang
Mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi kebutuhan hidup anak  dan istrinya menurut kemampuannya. Tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Terhadap kerabat lain tanggung jawab seorang laki-laki hanyalah tambahan saja, sunat hukumnya, kalau ia mau dan mampu melaksanakannya. Berdasarkan keseimbangan antara hak yang diperolehnya, apa yang diperoleh seorang laki-laki dan perempuan dari harta peninggalan, manfaatnya akan sama mereka rasakan.
5.    Asas yang menyatakan kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia.
Kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum kewarisan islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta kewarisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan sesudah kematiannya tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan hukum islam. Ini berarti pula, hukum kewarisan islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat kematian atau yang disebut dalam hukum kewarisan perdata Barat dengan istilah “Ab Intestato” dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat oleh seseorang pada waktu ia masih hidup yang disebut dalam hukum perdata barat dengan istilah kewarisan secara testamen. Wasiat itu merupakan ketentuan tersendiri dari ketentuan hukum kewarisan islam dan dalam kitab-kitab hukum fikih islam, wasiat dibahas tersendiri di luar hukum kewarisan.
          Menurut hukum kewarisan, penyebab utama seseorang dapat menjadi ahli waris orang lain adalah :
1.    Hubungan darah atau hubungan kekerabatan adalah :
a.    Ke bawah : anak-anak, baik  anak laki-laki maupun anak perempuan serta keturunannya.
b.    Ke atas : orang tua, baik ibu maupun ayah dan yang menurunkannya.
c.    Ke samping : anak ayah atau anak ibu atau anak kakek atau nenek, sambung menyambung satu dengan yang lain yang menentukan jarak dekatnya hubungan masing-masing dengan pewaris.
Dalam hubungan dengan pertalian darah ini perlu ditegaskan bahwa hukum islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak dalam pengertian adopsi menurut hukum perdata Barat, yakni terlepasnya hubungan kekerabatan seorang anak angkat dengan orang tua aslinya karena dimasukkan ke dalam  kekerabatan orang tua angkatnya. Sebabnya adalah Allah tidak menjadikan anak angkat (seseorang) menjadi anak kandungnya. Dan karena itu pula dalam ayat 5 surat Al-Ahzab, Allah menyuruh agar orang memanggil (menghubungkan kekerabatan) anak angkat dengan orang tuanya yang asli dengan menyebut nama ayah kandungnya sendiri pada anak angkat itu.
Q.S AL-Ahzab: 5
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya :
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2.              Hubungan perkawinan
Merupakan penyebab seseorang menjadi ahli waris orang lain, yang termasuk ke dalam kelompok hubungan perkawinan adalah suami dan istri, karena itu menurut hukum islam suami istri saling mewarisi.
Hal-hal yang menjadi penghalang seseorang menjadi ahli waris adalah:
a.         Pembunuhan yang dilakukan oleh (calon) ahli waris terhadap pewarisnya.
b.        Perbedaan agama.
c.         Kelompok keutamaan dan hijab
Dalam sistem kewarisan islam dipakai prinsip keutamaan yang menentukan jarak dekatnya seseorang dengan pewaris. Yang dimaksud dengan hijab secara etimologi adalah menutup atau halangan. Menurut istilah, hukum kewarisan islam, hijab berarti tertutup atau terhalangnya seseorang menjadi ahli waris karena ada ahli waris lain yang lebih utama yang lebih berhak menerima harta peninggalan. Ada dua macam hijab, yakni hijab penuh (tertutupnya hak kewarisan seorang ahli waris secara menyeluruh) dan hijab tidak penuh atau hijab kurang (berkurangnya perolehan seorang ahli waris dalam kasus dan keadaan tertentu).
Ada tiga unsur dalam kewarisan Islam, yang memungkinkan peralihan harta peninggalan seorang berlangsung sebagaimana mestinya. Unsur-unsur tersebut adalah pewaris, harta warisan, dan ahli waris.
Yang dimaksud pewaris adalah seorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu untuk keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan asas ijbari tersebut diatas, pearis pada waktu akan meninggal tidak berhak menentukan siapa-siapa yang akan memperoleh harta yang ditinggalkannya, berapa peroleh masing-masing dan bagaiamana cara mengalihkan harta itu. Sebab, semuanya telah ditentukan Allah secara pasti yang wajib dilaksanakan. Kalau adapaun, kemerdekaan yang diberikan Allah kepadanaya mengenai harta yang akan ditinggalkannya itu, kemerdekaan tersebut hanya sebatas pada pengalihan sepertiga harta yang akan ditinggalkannya untuk seorang yang dikehendakinya. Batas itu ditentukan untuk menjaga agara hak ahli waris yang telah ditentukan Allah tidak terlanggar.
Yang dimaksud dengan harta warisan atau (kadang-kadang disebut) harta peninggalan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang sepenuhnya merupakan milik pewaris. Benda yang bukan sepenuhnya milik pewaris , tidak dapat dialihkan kepada ahli warisnya. Bentuk harta peninggalan mungkin benda bergerak mungkin pula benda tidak bergerak,berwujud atau berupa hak-hak tertentu.
Mengenai hutang-hutang pewaris, ahli waris hanya bertanggung jawab terbatas jumlah harta peninggalan pewaris saja. Artinya ahli waris tidak wajib membayar hutang-hutang pewaris dengan harta pribadinya, melebihi harta yang ditinggalkan pewaris. Namun, dalam masyarakat muslim Indonesia, berdasarkan akhlak, ahli waris selalu berusaha selalu berusaha membayar hutang pewaris, kalau hutang pewaris kurang dari harta peninggalannya .
Unsur ketiga adalah ahli waris dan hak mereka masing-masing. Yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang atau orang-orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Disamping karena hubungan kekerabatan (darah) dan perkawinan tersebut diatas, seseorang baru dapat menjadi ahli waris jika memenuhi syarat-syarat berikut ini :
a.               Pada dasarnya masih hidup waktu pewaris meninggal dunia
b.              Tidak ada sebab-sebab yang menghalanginya menjadi ahli waris
c.               Tidak tertutup oleh ahli waris yang lebih utama
Pada pokoknya perincian ahli waris sebagai berikut :
a.               Anak laki-laki dan anak perempuan
b.              Cucu, baik laiki-laki maupun perempuan
c.               Ayah
d.              Ibu
e.               Kakek
f.               Nenek
g.             Saudara laki-laki dan saudara perempuan kandung, seayah atau seibu
h.              Anak saudara
i.                Paman
j.                Anak-anak paman
Ahli waris yang telah disebutkan diatas adalah ahli waris berdasarkan hubungan darah, sedang ahli waris karena hubungan perkawinan adalah suami atau isteri. Kedudukan suami isteri sebagai ahli waris ditetapkan dengan tegas dalam Al Qur’an Surat An Nisa (4) ayat 12 yang artinya “Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika meraka(isteri-isterimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (setelah dibayar) hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak , maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu . Jika seseorang meninggal baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris) Demikianlah ketentuan Allah . Allah maha mengetahui, Maha Penyantun.”  Kewarisan karena hubungan perkawinan ini tidak menyebabkan hak kewarisan apapun bagi kerabat suami ataupun kerabat isteri.
Dilihat dari segi perolehan masing-masing, dalam hukum kewarisan Islam, dapat dibedakan menjadi dua macam ahli waris, yaitu ahli waris  yang sudah ditentukan bagiannya secara pasti, dan ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya secara pasti.
Ahli waris yang ditentukan bagiannya secara pasti   , adalah ahli waris yang mendapat bagian pasti mungkin setengah, seperempat, seperdelapan, sepertiga, dua pertiga, dan seperenam. Ahli waris ini disebut ahli waris zulfara’id yaitu anak perempuan , cucu perempuan, ibu , nenek , saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, isteri, ayah, kakek, saudara laki-laki seibu dan suami.
Ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya secara pasti dalam kasus tertentu , dalam keadaan tertentu adalah mereka yang mendapat bagian seluruh harta warisan bila tidak ada ahli waris zul fara’id lainnya yaitu mereka yang memperoleh bagian tertentu , dalam keadaan tertentu tersebut diatas, atau mereka mendapat sisa harta sesudah dikeluarkan bagian zul fara’id dengan pembagian yang bersifat terbuka. Misalnya, didalam Al Qur’an disebutkan kewarisan anak laki-laki , tetapi tidak dirinci jumlanhnya. Bila anak laki-laki mewaris bersama anak perempuan disebutkan pula bandingan bagiannya yakni bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan .
Dari ketentuan ini diambil garis hokum bahwa anak laki-laki mewaris bersama-sama dengan anak perempuan , mereka berhak atas seluruh harta peninggalan bila tidak ada ahli waris yang lain. Hasil yang mereka peroleh dibagi dengan perbandingan satu laki-laki sama bagiannya dengan dua orang perempuan. Hal yang sama berlaku juga jika yang menjadi ahli waris adalah anaka pewaris yang terdiri dari anak laki-laki saja. Disamping apa yang telah disinggung diatas , banyak lagi pengelompokkan ahli waris dan bagiannya menurut Ahlul Sunnah atau Sunni dan menurut Syi’ah.
Dalam hukum kewarisan Islam, disebutkan berbagai langkah yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pembagian warisan secara tuntas. Sebelum warisan dibagi , diselesaikan dahulu hal-hal sebagai berikut :
1.        Soal-soal yang berhubungan dengan pengurusan jenazah sampai ke penguburannya. Penguburan jenazah dilakukan secara sederhana tidak berlebih-lebihan.
2.        Diselesaikan terlebih dahulu hutang pewaris , baik hutang kepada Allah, misalnya nazzar, zakat , dan hutang kepada manusia.
3.        Yang harus diselesaikan adalah wasiat pewaris. Batas wasiat telah ditentukan oleh  Nabi Muhammas SAW yakni tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan (Amir Syarifuddin, 1985 :28-70).
Pelaksanaan pembagian warisan dilakukan dengan cara dan teknik tertentu memungkinkan semua harta peningglan dibagi habis menurut ketetapan Allah dan ketentuan Nabi Muhammad seperti yang dirumuskan lebih lanjut oleh para mujtahid (orang yang memenuhi syarat merumuskan garis-garis hokum untuk mengembangkan syari’at yang terdapat dalam Al Qur’an dan Al Hadits atau sesuatu yang tidak diatur dalam kedua sumber utama hukum Islam itu). Cara dan teknik-teknik pembagian warisan dapat dipelajari dalam kitab-kitab hukum kewarisan Islam.
Jika dalam pelaksanaan pembagian warisan terjadi perbedaan pendapat antara para ahli waris, penyelesaiannya dalam tahap akhir , biasa banyak dilakukan oleh pengadilan. Yang berhak menyelesaikan sengketa kewarisan menurut Islam antara sesama orang Islam di Indonesia adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama juga berwenang menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan perceraian. Dalam system kekuasaan kehakiman di negara kita, Pengadilan Agama adalah pengadilan tingkat pertama bagi orang Islam di Indonesia dalam menyelesaikan sengketa perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf , dan shadaqah. Diatasnya ada Pengadilan Tinggi Agama  sebagai pengadilan tingkat banding. Pengadilan  Agama dan Pengadilan Tinggi Agama disebut Peradilan Agama, yakni peradilan bagi orang-orang Islam dalam menyelesaikan sengketa-sengketa tersebut diatas . Pengadilan  Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, seperti halnya dengan pengadilan-pengadilan lain dalam Negara Republik Indonesia , berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi di negara kita.






BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
 Perkataan Mu’amalat mengandung makna pengaturan hubungan (antara manusia). Hubungan yang diatur syari’at mu’amalat adalah hubungan perdata dan hubungan publik. Dalam syari’at Islam tidak dipisahkan antara hubungan individu dengan individu, individu dengan benda (perdata) dengan hubungan individu dengan umum (masyarakat atau negara) yang disebut dengan hubungan publik.
Tujuh puluh ayat atau sekitar tiga puluh persen ayat mu’amalat adalah mengenai keluarga atau syari’at yang mengatur hubungan individu dalam keluarga. Karena pentingnya kedudukan keluarga dalam Islam, maka hubungan dalam keluarga diatur secara rinci dan qath’i dalam syari’at Islam . Demikian pula dengan perkawinan dan kewarisan.
Kendatipun ikatan keluarga menurut ajaran Islam adalah pertalian darah , namun, pertalian darah itu tidak menimbulkan sistem penarikan garis keturunan secara patrilinial dan matrilineal seperti dalam masyarakat tradisional yang berklen, bermarga, dan bersuku.
Karena pentingnya kedudukan keluarga , menurut ajaran Islam, pembentukannya harus dilakukan menurut jalna dan ketentuan yang telah ditetapkan yakni perkawinan . Perkawinan adalah suatu lembaga. Menurut Anwar Harjono (Anwar Harjono, 1968 : 219) perkawina atau pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.
Menurut hukum Islam , tujuan perkawinan atau pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dan menciptakan rumah tangga yang bahagia dan kasih sayang (mawadah warrahmah) didalamnya.
Kendatipun perkawinan dikehendaki berlangsung seumur hudup, namun, menurut hukum Islam perceraian dapat saja terjadi. Baik cerai hidup atau cerai mati. Yang dimaksud cerai hidup adalah perceraia yang terjadi sewaktu suami isteri masih hidup. Kemudian yang disebut cerai mati  adalah perceraian yang terjadi karena salah seorang suami atau isteri meninggal dunia. Jika terjadi demikian , timbullah masalah kewarisan yaitu masalah yang berhubungan dengan peralihan hak atas benda seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.  Ini telah mengikutsertakan kewarisan Islam, yang merupakan kelanjutan sistem perkawinan Islam dan merupakan bagian hukum keluarga.
Ada tiga unsur dalam kewarisan Islam, yang memungkinkan peralihan harta peninggalan seorang berlangsung sebagaimana mestinya. Unsur-unsur tersebut adalah pewaris, harta warisan, dan ahli waris.
Pelaksanaan pembagian warisan dilakukan dengan cara dan teknik tertentu memungkinkan semua harta peningglan dibagi habis menurut ketetapan Allah dan ketentuan Nabi Muhammad seperti yang dirumuskan lebih lanjut oleh para mujtahid (orang yang memenuhi syarat merumuskan garis-garis hokum untuk mengembangkan syari’at yang terdapat dalam Al Qur’an dan Al Hadits atau sesuatu yang tidak diatur dalam kedua sumber utama hukum Islam itu).

B.     Saran


















DAFTAR PUSTAKA


http://septian-septiancom.blogspot.com/2011/03/asas-asas-hukum-islam.html


1 komentar: