MAKALAH
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
“MU’AMALAT
KELUARGA DAN PERNIKAHAN SERTA KEWARISAN”
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam
Dosen
Pengampu : Drs. Imam Suyanto, M. Pd
Disusun
Oleh :
1. Yetty
Wahyunungsih
2. Yogi
Rahkmawati
3. Anis
Muallifah Fatimatus Sa’diyah
4. Annas
Hidayatulloh
5. Arif
Wahyudi
6. Awalus
Sa’diyah
7. Bening
Sri Palupi
PROGRAM
S-1 PGSD KAMPUS VI KEBUMEN
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Mu’amalat, Keluarga dan Pernikahan serta Kewarisan. Makalah ini merupakan tugas
kelompok dan disusun untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan Agama Islam
mahasiswa progam S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Kampus VI Kebumen Tahun 2013/2014.
Makalah ini dapat
terselesaikan berkat dorongan
dan
perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang
setulus-tulusnya kepada :
1.
Drs. Imam Suyanto, M.
Pd , selaku koordinator pelaksana progam S1 PGSD Universitas Sebelas Maret
Kampus VI Kebumen sekaligus sebagai dosen pengampu mata kuliah pendidikan agama
Islam.
2. Orang
tua yang telah memberikan dana , dukungan, semangat serta doa yang selalu
dipanjatkan pada-Nya
3.
Rekan-rekan mahasiswa
dan semua pihak yang telah membantu
Semoga apa yang telah
diberikan kepada penulis
dapat menjadi amal yang bermanfaat
serta mendapat imbalan yang lebih banyak dari Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya , bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu , kritik dan saran yang
bersifat membangun selalu penyusun
nantikan demi peningkatan kualitas pada masa yaang akan datang.
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis
dan
semua pihak yang membacanya.
Kebumen,
November 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................ i
KATA
PENGANTAR.......................................................................... ii
DAFTAR
ISI......................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah............................................................. 1
B. Rumusan
Masalah.......................................................................
1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mu’amalat, Pengertian
dan Ruang Lingkupnya......................... 2
B. Keluarga
dan Pernikahan........................................................... 2
C. Kewarisan atau Fara’id............................................................. 11
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................ 22
B.
Saran.......................................................................................... 23
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perbuatan masyarakat islam yang terdapat dalam
perbuatan pidana, perdata yang mekiputi perkawinan, muamalah, perkawinan diatur
dalam setiap hukum yang meliputi asas itu sendiri.
Sesuatu hal
yang paling mendasar dari tiap hukum tercantum dari asas itu sendiri, sehingga
kita perllu mengetahui pengertian asas itu terlebih dahulu agar diketahui
kejelasnnya.
Asas dalam hukum islam terbagi menjadi dua, yaitu asas
umum yangmencantum segala ketentuan semua hukum dalam islam itu sendiri. Dan
asas khusus yang meliputi asas dalam hukum pidana, muamalah, kewarisan.
Pernikahan, dan kewarisan. Asas umum itu sendiri meliputi asas keadilan yang
selalu ditegaskan dalam islam untuk selalu ditegakkan dalam kehidupan
masyarakat. Asas kepastian hukum dan asas kemanfaatan juga terdapat didalamnya.
Asas khusus itu sendiri seperti asas legalitas dalam
hukum pidana, asas suka sama suka dalam hukum muamalah, asas individual dalam
hukum kewarisan, dan asas kekeluargan dalam hukum perkawinan, dan masih banyak
lagi asas khusus itu sendiri. Karena itulah dalam hal ini akan dijelaskan lebih
lanjut dalam bab-bab selanjutnya dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian mu’amalat dan
ruang lingkupnya ?
2.
Apa pengertian keluarga dan pernikahan
?
3.
Apa hukum kewarisan dan Asas –
asas dalam Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. MU’AMALAH
, PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUPNYA.
Perkataan mu’amalat
mengandung makna pengaturan hubungan antar manusia. Hubungan yang diatur
syari’at mu ‘amalat adalah hubungan perdata dan hubungan public. Hubungan
perdata adalah hubungan individu dengan individu , hubungan individu dengan
benda. Hubungan public adalah hubungan individu dengan masyarakat umum atau
negara. Didalam Al- Qur’an terdapat 228 ayat syari’at mu’amalat. Di antara 228
ayat syari’at mu’amalat ini ada yang sifatnya zanni dan ada yang qath’i. Yang
zanni mengandung berbagai kemungkinan arti , dapat dikembangkan melalui ijtihad
atau penalaran manusia yang memenuhi syarat. Yang qath’i sudah jelas artinya,
tidak mungkin diartikan lain selain dari makna yang terdapat dalam ayat itu.
Contohnya adalah syari’at atau hukum yang mengatur soal perkawinan dan
kewarisan. Yang zanni melalui ijtihad sebagai sumber pengembangan dapat
menampung pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang senantiasa berubah dari
masa ke masa. Masalah bayi tabung, pencakokan kornea mata dan ginjal misalnya,
dan masalah – masalah kemasyarakatan yang timbul akibat perkembangan ilmu dan
teknologi dapat saja ditentukan hukumnya dan dipecahkan masalahnya dengan
mempergunakan ijtihad. Dan sebagaimana telah diuraikan dimuka, kaidah asal
mu’amalah adalah ibahah atau jaiz artinya boleh sama dilakukan asal tidak
bertentangan dengan ketetapan Alloh dan ketentuan Rosul yang sudah qath’i serta
jiwa Agama Islam pada umumnya.Tujuh puluh ayat atau sekitar tiga puluh persen
ayat mu’amalat adalah mengenai keluarga atau syari’at yang mengatur hubungan
individu dalam keluarga.
2. KELUARGA DAN PERNIKAHAN
Keluarga adalah kesatuan terkecil
masyarakat yang anggotanya terikat secara batiniah dan hukum karena pertalian
darah dan pertalian perkawinan. Bentuk keluarga batih atau keluarga inti atau
nuclear family dalam masyarakat Barat (Modern) terdiri dari seorang ayah,
seorang ibu dengan beberapa anak atau tanpa anak. Keluarga batih menurut ajaran
Islam lebih besar dari itu sebab, keluarga inti menurut ajaran Islam terdiri
dari seorang suami, istri dan anak –anak beserta kedua atau salah seorang orang
tua suami dan atau istri.Kendatipun ikatan keluarga menurut ajaran Islam adalah
pertalian darah, namun pertalian drah itu tidak menimbulkan system penariakan
garis keturunan secara patrilinial dan matrilineal sseperti dalam masyarakat
tradisional berklen, bermarga, bersuku misalnya.
Jika dipelajari dengan seksama larangan
– larangan perkawinan yang disebutkan dalam Al- Qur’an surat an – Nisa ayat
22,23,24 jelas bahwa ke dalam larangan perkawinan itu tidak termasuk semua
bentuk perkawinan sepupu baik cross maupun paralle cousin. Perkawinan cross
cousin atau perkawinan silang adalah perkawinan antara anak dua bersaudara,
seorang laki – laki dan seorang perempuan. Perkawinan paralle cousin adalah
perkawinan sejajar antara anak dua orang bersaudara sama – sama laki- laki atau
sama – sama perempuan. Dalam system bilateral, setiap orang menghubungkan
dirinya dalam hal keturunan baik kepada ayahnya maupun kepada ibunya seperti
dalam masyarakat bilateral Aceh dan Jawa. Namun, demikian Hazairin lebih
lanjut, kesatuan kekeluargaan bilateral yang anggota – anggotanya menarik garis
keturunan ayah dan ibu melalui pertalian darah, bukan karena diikat oleh
pertalian tempat atau daerah tempat tinggal yang sama, seperti yang dijumpai di
Jawa misalnya.
Dalam keluarga, masing – masing anggota
mempunyai kedudukan tertentu yang menimbulkan wewenang, hak dan kewajiban.
Suami misanya, menurut ajaran Islam mempunyai kedudukan sebagai kepala
keluarga, sedangkan istri berkedudukan sebagai kepala rumah tangga (Q.S 4: 34).
Mempunyai kedudukan yang seimbang (Q.S 2: 228) menurut kodratnya masing –
masing dan menjaga serta memelihara keseimbangan itu agar pergaulan hidup dalam
keluarga berkembang dengan baik, bahagia saling cinta mencintai dan saling
menyayangi(Q.S 4 : 19,30,21). Suami adalah mitra (pasangan) istri, demikian
juga sebaliknya. Karena keseimbangan kedudukannya itu, dalam hal tertentu,
wewenang hak dan kewajiban suami istri adalah sama. Kalaun ada perbedaan,
perbedaan itu akan menimbulkan hak dipihak yang satu dan menambahkan kewajiban
di pihak lain. Perbedaan hak dan kewajiban itu, sebagai konsekuensi perbedaan
kodrat masing – masing, menyebabkan masing – masing suami istri melaksanakan
tugas yang berbeda di atas dasar persamaan derajat. Persamaan derajat
meninbulkan persamaan tanggung jawab dalam memelihara dan mendidik anak – anak
(al - Hadist) serta meelihara kesucian kehidupan keluarga baik dalam maupun
luar rumah tangga (Q.S 66: 6,4: 34) dan suami istri harus bertempat tinggal di
tempat kediaman yang sama (Q.S 65 : 6). Suami istri sebagai orang tua
berkewajiban memelihara dan mendidik anak – anaknya, sejak anak itu masih
berada dalam kandungan, lahir sampai dewasa. Kewajiban orang tua mendidik anak
– anaknya berlangsung selama hidup, dengan misalnya memberikan suri tauladan
yang baik yang dapat dicontoh oleh anak – anak, kendatipun mereka elah kawin
atau dewasa. Anak – anak yang menjadi kewajiban orang tua untuk mendidiknya,
karena kedudukanya dalam keluarga menurut hukum adalah anak sah yakni anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah yaitu menurut hukum
agama yang dipeluknya. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan, hanya mempunyai
hibungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.Anak angkat menurut ajaran
Islam tidak sama kedudukannya dengan anak kandung (Q.S 33: 4,5), mengenai
pewalian dalam perkawinan dan kewarisan. Ini berarti bahwa orang tua angkat
tidak dapat menjadi wali anak angkatnya, juga tidak dapat menjadikan anak
angkatnya menjadi ahli warisnya sama kedudukannya dengan ank kandungnya. Sebab,
karena pengangkatan dan pengadopsian anak menurut ajaran Islam, hubungan darah
anak angkat tidak terputus dengan orang tua kandungnya.
Sebagi akibat kedudukannya dalam
keluarga, disamping mempunyai hak, seorang anak mempunyai kewajiban terhadap
orang tuanya, kewajiban itu antara lain adalah menghormati orang tua dan
menaati kehendak mereka yang baik. Menurut ajaran Islam, kehendak orang tua
yang tidak baik dank arena itu tidak wajib ditaati adalah kehendak menyekutukan
Alloh dengan apapun juga. Kendatipun kedua orang tua tidak boleh dibeda –
bedakan karena derajatnya sama. Namun, menurut ajaran Islam bakti kepada ibu
lebih didahulukan atau diutamakan dari bakti kepada ayah, sebab ibulah yang
mengandung seseorang dalam keadaan (badan) yang lemah, menyusukan dan
merawatnya ketika masih kecil (Q.S 31: 14) mendidik anak itu ketika nalurinya
baru mulai tumbuh dan berkembang. Oleh karena jasa orang tua terutama ibu, maka
jika seorang anak telah dewasa, ia wajib memelihara kedua orang tuanya. Setelah
orang tuanya meninggal dunia, anak wajib menepati wasiat atau janji kedua orang
tuanya, baik itu janji kepada Alloh maupun janji kepada sesama manusia.
Keduduka keluarga sangat penting dalam
ajaran Islam. Karena itu keberadaanya tidak mungkin dihilangkan. Sebabnya
adalah, karena keluarga merupakan sumbu tempat seluruh kehidupan manusia berputar.
Oleh karena itu pula, hubungamn antar anggotanya diatur secara jelas dan rinci
dalam Al- Qur’an. Dari 228 ayat hukum mengenai kehidupan sosial, 70 ayat adalah ayat yang berhubungan dengan hukum
kekeluargaan. Pengaturan itu ditentukan demikian, agar masing - masing anggota dapat melaksanakn tugasnya
dengan baik, tidak hanya pelaksanaan tugas dalam menyelenggarakan fungsi
esensial keluarga seperti misalnya melanjutkan keturunan. Karena pentingnya
kedudukan keluarga seperti yang sudah disinggung diatas, menurut ajaran
Islam pembentukannya harus dilakukan
menurut jalna dan ketentuan yang telah ditetapkan yakni melalui perkawinan.
Menurut Anwar Harjono (Anwar harjono, 1968 : 219) perkawinan atau pernikahan
adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki – laki dan seorang perempuan
untuk membentuk keluarga yang bahagia. Rumusan ini memenuhi 3 aspek penting
lembaga perkawinan yaitu perkataan dan perjanjian menunjukkan aspek :
1) Hukum
lembaga tersebut
Sebagai
perjanjian (Q.S 4: 21) perkawinan mempunyai tiga sifat yaitu:
a) Tidak
dapat dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak.
b) Ditentukan
tata cara melaksanakannya dan tata cara pemutusannya kalau perjanjian itu tidak
dapat terus dilangsungkan.
c) Ditentukan
pula akibat - akibat perjanjian itu bagi
kedua belah pihak.
2) Aspek
sosial embaga perkawinan, tampak pada kenyataan dalam masyarakat.
3) Aspek
keagamaan tergambar dalam kata “ suci “ rumusan itu.
Menurut hukum Islam tujuan perkawinan
atau pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dan menciptakan
rumah tangga yang bahagia(sakinah) yang diliputi oleh suasana damai dan tentram
karena dibina oleh rasa cinta dan kasih sayang(mawadah warahmah) di dalamnya.
Dalam pasal 1 Undang – Undang Perkawinan tahun 1974 tujuan ini dirumuskan
dengan kata – kata “ membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Asal hukum melakukan perkawinan, dilihat
dari lima kategori kaidah hukum Islam yang disebut al – ahkam, al – khamsah,
yaitu :
1) Ibahah
, jaiz atau kebolehan.
Hukum
ibahah, jaiz atau kebolehan melakukan perkawinan bisa berubah atau beralih
menjadi sunnat, wajib, makruh, dan haram tergantung pada illatnya. Illat adalah
penyebab ada atau tidaknya hukum dimaksud pada suatu benda atau perbuatan.
2) Sunnat
Kalau
dipandang dari segi pertumbuhan jasmani, keinginan berumah tangga, kesiapan
mental dan kesiapan membiayai kehidupan rumah tangga telah benar – benar ada
pada orang yang bersangkutan.
3) Wajib
Seseorang
telah cukup matang untuk beruma tangga, baik dilihat dari segi jasmani maupun
dari kesiapan mental, kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga dan supaya
tidak terjerumus ke jurang perzinaan.
4) Makruh
Jika
seseorang yamg belum siap baik jasmani maupun mental serta biaya rumah tangga.
5) Haram
Melanggar
larangan – larangan perkawinan. Seperti beristri sebanyak – banyaknya 4 orang
pada waktu bersamaan bagi seorang laki – laki, mempunyai suami lebih lebih
seorang bagi wanita yang terikat dalam ikatan perkawinan dengan laki – laki dan
sebagainya.
Pernikahan harus memenuhi syarat
dan rukunnya. Rukun nikah dalan hukum Islam adalah :
a) Calon
suami,
b) Calon
istri,
c) Wali,
orang yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin perempuan.
d) Dua
orang saksi yang memenuhi syarat,
e) Ijab
kobul. Ijab menurut katanya adalah menawarkan tanggung jawab dan kobul artinya menerima tanggung
jawab itu.
Dan
syarat nikah yaitu:
a) Persetujuan
kedua belah pihak, persetujuan ini merupakan syarat mutlak untuk melangsungkan
perkawinan.
b) Mahar,
adalah hak mutlak calon pengantin perempuan dan kewajiban calon pengantin laki
– laki untuk memberiya setelah akad nikah dilangsungkan.
c) Tidak
boleh melanggar larangan – larangan perkawinan.
Larangan – larangan
perkawinan itu adalah:
· Larangan
perkawinan karena perbedaan agama.
Larangan ini ditunjukan kepada laki – laki sebagaimana disebutkan dalam
(Q.S 2 :221) dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa laki – laki muslim tidak
boleh mengawini wanita musyrik sebelum ia beriman dan juga laki- laki muslim
tidak boleh mengawinkan laki – laki musyrik dengan perempuan beriman sebelum
laki – laki musyrik itu beriman.
Larangan ditunjukan kepada wanita muslim untuk kawin dengan laki – laki
non muslim.
· Larangan
perkawinan karena hubungan darah
Larangan ini tercantum dalam surat an – Nisa :23 antara lain larangan
mengawini ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ibu,
saudara perempuan ayah, anak perempua saudara laki – laki, anak perempuan
saudara perempuan.
· Larangan
perkawinan karena hubungan kekeluargaan yang disebabkan perkawinan.
Menurut
Q.S An-Nisa (4) : 23 ditegaskan bahwa larangan (1) Mengawini mertua perempuan
(2) Anak tiri perempuan yaitu anak istri yang telah dicampuri yang berada dalam
‘pemeliharaan’ seseorang (3) Menantu perempuan (4) dua wanita bersaudara dan
(5) Ibu tiri yaitu wanita-wanita yang (telah) pernah dinikahi oleh ayah
seseorang. Larangan perkawinan yang keempat adalah larangan perkawinan yang
dikarenakan hubungan sepersusuan. Larangan ini disebutkan dalam Q.S An-Nisa
(23) dijelaskan bahwa Larangan mengawini (1) Ibu susu yaitu wanita yang
menyusukan seseorang waktu ia masih kecil (2) Saudara sepersusuan yaitu orang
yang pernah menyusu pada ibu susu yang sama. Hubungan sepersusuan ini dalam
Al-Quran dekatnya sama dengan hubungan darah. Larangan perkawinan yang kelima
adalah larangan khusus bagi wanita yaitu poliandri. Larangan ini tersirat dalam
Al-Quran Q.S An-Nisa (24) dalam ayat ini disebutkan larangan bagi laki-laki
untuk mengawini perempuan yang sedang bersuami. Sebabnya adalah karena dalam
hukum suami perkawinan dan kewarisan islam soal kemurnian keturunan sangat
penting dan menetukan.
Dalam pasal 8 UU Perkawinan
Indonesia disebutkan larangan perkawinan antara dua orang yang :
a. Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan keatas
b.
Berhubungan darah dalam
keturunan menyamping yaitu saudara , antara
seorang dengan saudara orang tua dan antar seorang dengan saudara
neneknya.
c.
Berhubungan semenda
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan
susuan yaitu orang tua susuan , anak susuan , saudar susuan dan paman /bibi
susuan
e. Berhubungan
saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan isteri , dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang.
f. Yang
mepunyai hubungan dimana dalam agama atu peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin.
Syarat perkawinan umat islam di Indonesia
adalah pencatatan. Oleh karena itu Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam (1991) yang
berlaku sebagai hukum terapan bagi umat Islam Indonesia mengaskan , “setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah. Perkawinan tanpa akta nikah adalah perkawinan yang tidak sah
dan karena itu tidak dilindungi hukum di Indonesia.
Perkawinan siri adalah perkawinan
diam-diam , perkawinan terselubung. Perkawinan yang tidak dicatat dan tidak
dilangsungkan didepan Pegawai Pencatat Nikah adalah perkawinan yang tidak sah
menurut hukum perkawinan yang berlaku juga bagi umat Islam Indonesia.
Berkenaan
dengan perkawinan dan rumah tangga , ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan
dalam Islam yaitu sebagai berikut :
1. Monogami
adalah perkawinan seorang (suami) dengan seorang (istri). Monogami dijelaskan
dalam Q.S An-Nisa ayat (3) “jika kamu
takut tidak dapat berlaku adil kawinilah seorang wanita saja’’.
2. Poligami
adalah perkawinan yang salaha satu pihaknya mengawini beberapa lawan jenis nya
dalam waktu yang bersamaan dalam bentuk :
a.
Poligini adalah seorang
suami kawin dengan lebih dari satu istri
b.
Poliandri adalah
seorang istri memiliki suami lebih dari satu
Larangan
poliandri terdapat dalam Q.S An-Nisa ayat 24.
Syarat-syarat seorang suami jika hendak
beristri lebih dari satu :
1. Istrinya
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri karena berbagai hal dan
keadaan
2. Istrinya
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istrinya
tidak dapat melahirkan keturunan
4. Adanya
persetujuan istri-istrinya
5. Ada
kepastian bahwa ia mampu menjamin keperluan hidup istri-istri serta
anak-anaknya
6. Ada
jaminan bahwa semua itu akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anaknya.
Perceraian
dalam Islam bisa saja terjdi dalam bentuk :
1. Cerai
Hidup atau disebut cerai benci adalah
perceraian yang terjadi sewaktu suami istri masih hidup. Ini bisa terjadi
karena inisiati suami atau istri , permintaan suami atau istri , salah satu
pihak berzina atau menjadi pemabuk , salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah,
salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukumanya yang lebih
berat lagi, salah satu pihak melakukan penganiayaan , salah satu pihak mendapat
cacat badan yang tidak dapat disembuhkan , antara suami dan istri terjadi
perselisihan secara terus-menerus.
2. Cerai
mati adalah cerai karena salah satu dari suami ada yang meninggal.
Jika
perceraian atas inisiatif suami maka disebut talak. Talak adalah hak suami
untuk menceraikan istrinya dengan mengucapkan kata-kata tertentu. Macam-macam
Talak :
1. Talak
Khuluk yaitu talak tebus karena istri memberikan sesuatu benda atau uang
sebagai tebusan kepada suami agar suaminya menjatuhkan talak padanya supaya
mereka bisa bercerai.
2. Ta’lik
talak yakni talak yang kabul dilangsungkan dipengadilan.
3.
Talak biasa
Kalau
perceraian terjadi atas inisiati istri , maka dinamakan fasakh. Fasakh adalah
bentuk perceraian yang terjadi atas permintaan istri karena suaminya sakit gila
, dan sakit berbahaya lainya.
K.
KEWARISAN / FARA’ID
Hukum
kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan
peralihan hak atas harta seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum
kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id,
karena adanya bagian-bagian tertentu
bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu. Kata fara’id seakar dengan faridah artinya kewajiban, yang dekat
hubungannya dengan kata fard yang
berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbernya adalah Al-Qur’an ,
terutama surat an-Nisa (4) ayat 11, 12, 176 dan Sunnah Nabi Muhammad yang
kemudian dikembangkan secara rinci oleh para ahli hukum fikih Islam melalui
ijtihad orang yang memenuhi syarat (itjihad adalah usaha yang sungguh-sungguh
untuk mengalirkan garis-garis hukum dari Al-Qur’an dan Al-Hadist).
Q.S an-Nisa ayat 11, 12 , 176
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ
فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ
وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ
فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي
بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
(١١)
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ
فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ
دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ
فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ
امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ
كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (١٢)
Artinya :
11. Allah
mewasiatkan (mensyari'atkan) kepadamu tentang (pembagian harta warisan untuk)
anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan; Maka jika anak (ahli waris) itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga (2/3) dari harta yang ditinggalkan; Dan jika
anak perempuan (ahli waris) itu seorang saja, maka ia memperoleh separo (1/2)
harta. Dan untuk dua orang bapak-ibu, masing-masing mendapatkan bagian
seperenam (1/6) dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; Maka jika orang yang meninggal itu tidak mempunyai anak dan ia mewariskan
(mempusakai) bapak-ibu (saja), maka ibunya mendapat sepertiga (1/3); Jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam (1/6),
(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar (lunas) semua hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. Dan
bagimu (para suami) separo (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka (isteri-isterimu yang telah meninggal) tidak
mempunyai anak. Dan jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat (1/4) dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah semua hutangnya dibayar (lunas). Dan para isteri
memperoleh seperempat (1/4) dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu (para suami yang telah meninggal) mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan (1/8) dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar (lunas) semua
hutangmu. Jika seseorang meninggal baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam (1/6). Akan tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga (1/3),
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar (lunas) semua
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at (perintah) yang benar-benar dari Allah; Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Q.S an-Nisa ayat 176
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ
يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ
أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا
وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ ۚ
وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya :
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Illahi yang
disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan sunnahnya, hukum kewarisan
Islam mengandung asas-asas diantaranya terdapat juga dalam hukum kewarisan buatan
akal manusia. Namun, karena sifatnya yang sui geneis (berbeda dalam jenisnya),
hukum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri. Ia merupakan bagian agama
Islam dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah serta
akhlak seorang muslim.
Asas-asas hukum kewarisan Islam yang
dapat disalurkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantaranya :
1.
Asas Ijbari
Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam
mengandung arti bahwa peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada
ahli warisnya berlaku dengan sendirinya
menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli
waris. Asas keharusan untuk dilaksanakan dalam hukum kewarisan Islam itu
terlihat dari kewajiban ahli waris menerima berpindahnya harta pewaris
kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena
itu calon pewaris yaitu orang yang akan meinggal dunia pada suatu ketika, perlu
merencanakan penggunaan hartanya setelah ia meninggal dunia kelak karena
kematiannya , secara otomatis hartanya akan beralih kepada warisnya dengan
perolehan yang sudah dipastkan.
Asas ijbari hukum kewarisan Islam dapat pula dilihat dari
beberapa segi yaitu:
a.
Segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang
meninggal dunia
b.
Jumlah harta yang sudah ditentukan untuk masing-masing
waris, yang dapat berubah atas persetujuan dan keikhlasan para ahli waris yang
diperoleh dari hasil permusyawaratan atau perdamaian antara mereka. Cara
membagi harta peninggalah perdasarkan perdamaian ini disebut sulh (dalam bahasa daerah kadang-kadang
dinamakan soloh atau suluh. Dasarnya adalah al-Qur’an(4) 128. Dalam ayat terssebut
Allah menyebutkan (kalau dihubungkan dengan pembagian warisan) as-sulhu-khair. Artinya berdamai (dalam
pembagian waris) adalah baik. Tentu saja, jika jalan ini ditempuh kepada para
pihak dijelaskan pergandingan bagian masing-masing, misalnya bagian laki-laki
dan wanita berbanding 2:1. Tetapi dengan sulh
perbandingan itu bisa menjadi 1:1 atau 1:2 dan sebagainya.
c.
Mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan
itu, yang sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan
darah atau ikatan perkawinan dengan pewaris.
2.
Asas Bilateral
Berarti bahwa seorang menerima hak pewarisan dari kedua belah
pihak yaitu dari pihak kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat
keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dari Q.S An-Nisa (4) ayat 7, 11, 12
dan 176. Di dalam ayat 7 surat tersebut ditegaskan bahwa orang laki-laki berhak
mendapat warisan dari ayahnya dan juga ibunya. Demikian halnya dengan
perempuan, ia berhak mendapat warisan menurut asas bilateral.
3.
Asas Individual
Menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada
masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya
seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan
kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian
masing-masing.
4.
Asas keadilan yang berimbang
Mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan
antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban
yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang
sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab
kehidupan keluarga, mencukupi kebutuhan hidup anak dan istrinya menurut kemampuannya. Tanggung
jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari
persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau
tidak. Terhadap kerabat lain tanggung jawab seorang laki-laki hanyalah tambahan
saja, sunat hukumnya, kalau ia mau dan mampu melaksanakannya. Berdasarkan
keseimbangan antara hak yang diperolehnya, apa yang diperoleh seorang laki-laki
dan perempuan dari harta peninggalan, manfaatnya akan sama mereka rasakan.
5.
Asas yang menyatakan kewarisan ada kalau ada yang
meninggal dunia.
Kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian seseorang.
Menurut ketentuan hukum kewarisan islam, peralihan harta seseorang kepada orang
lain disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta
meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada
orang lain dan disebut sebagai harta kewarisan, selama orang yang mempunyai
harta itu masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta
seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang
akan dilaksanakan sesudah kematiannya tidak termasuk ke dalam kategori
kewarisan hukum islam. Ini berarti pula, hukum kewarisan islam hanya mengenal
satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat kematian atau yang
disebut dalam hukum kewarisan perdata Barat dengan istilah “Ab Intestato” dan
tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat oleh seseorang pada
waktu ia masih hidup yang disebut dalam hukum perdata barat dengan istilah
kewarisan secara testamen. Wasiat itu merupakan ketentuan tersendiri dari
ketentuan hukum kewarisan islam dan dalam kitab-kitab hukum fikih islam, wasiat
dibahas tersendiri di luar hukum kewarisan.
Menurut hukum
kewarisan, penyebab utama seseorang dapat menjadi ahli waris orang lain adalah
:
1.
Hubungan darah atau hubungan kekerabatan adalah :
a.
Ke bawah : anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan serta
keturunannya.
b.
Ke atas : orang tua, baik ibu maupun ayah dan yang
menurunkannya.
c.
Ke samping : anak ayah atau anak ibu atau anak kakek
atau nenek, sambung menyambung satu dengan yang lain yang menentukan jarak
dekatnya hubungan masing-masing dengan pewaris.
Dalam hubungan dengan pertalian darah ini perlu ditegaskan
bahwa hukum islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak dalam pengertian
adopsi menurut hukum perdata Barat, yakni terlepasnya hubungan kekerabatan
seorang anak angkat dengan orang tua aslinya karena dimasukkan ke dalam kekerabatan orang tua angkatnya. Sebabnya
adalah Allah tidak menjadikan anak angkat (seseorang) menjadi anak kandungnya.
Dan karena itu pula dalam ayat 5 surat Al-Ahzab, Allah menyuruh agar orang
memanggil (menghubungkan kekerabatan) anak angkat dengan orang tuanya yang asli
dengan menyebut nama ayah kandungnya sendiri pada anak angkat itu.
Q.S AL-Ahzab: 5
ادْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ
فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya
:
Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
2.
Hubungan perkawinan
Merupakan penyebab seseorang menjadi ahli waris orang lain,
yang termasuk ke dalam kelompok hubungan perkawinan adalah suami dan istri,
karena itu menurut hukum islam suami istri saling mewarisi.
Hal-hal yang menjadi penghalang seseorang menjadi ahli waris
adalah:
a.
Pembunuhan yang dilakukan oleh (calon) ahli waris
terhadap pewarisnya.
b.
Perbedaan agama.
c.
Kelompok keutamaan dan hijab
Dalam sistem kewarisan islam dipakai prinsip
keutamaan yang menentukan jarak dekatnya seseorang dengan pewaris. Yang
dimaksud dengan hijab secara etimologi adalah menutup atau halangan. Menurut
istilah, hukum kewarisan islam, hijab berarti tertutup atau terhalangnya
seseorang menjadi ahli waris karena ada ahli waris lain yang lebih utama yang
lebih berhak menerima harta peninggalan. Ada dua macam hijab, yakni hijab penuh
(tertutupnya hak kewarisan seorang ahli waris secara menyeluruh) dan hijab
tidak penuh atau hijab kurang (berkurangnya perolehan seorang ahli waris dalam
kasus dan keadaan tertentu).
Ada tiga unsur dalam
kewarisan Islam, yang memungkinkan peralihan harta peninggalan seorang
berlangsung sebagaimana mestinya. Unsur-unsur tersebut adalah pewaris, harta
warisan, dan ahli waris.
Yang dimaksud pewaris adalah
seorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu untuk keluarganya
yang masih hidup. Berdasarkan asas ijbari
tersebut diatas, pearis pada waktu akan meninggal tidak berhak menentukan
siapa-siapa yang akan memperoleh harta yang ditinggalkannya, berapa peroleh
masing-masing dan bagaiamana cara mengalihkan harta itu. Sebab, semuanya telah
ditentukan Allah secara pasti yang wajib dilaksanakan. Kalau adapaun,
kemerdekaan yang diberikan Allah kepadanaya mengenai harta yang akan
ditinggalkannya itu, kemerdekaan tersebut hanya sebatas pada pengalihan
sepertiga harta yang akan ditinggalkannya untuk seorang yang dikehendakinya.
Batas itu ditentukan untuk menjaga agara hak ahli waris yang telah ditentukan
Allah tidak terlanggar.
Yang dimaksud dengan harta
warisan atau (kadang-kadang disebut) harta peninggalan adalah segala sesuatu
yang ditinggalkan oleh pewaris yang sepenuhnya merupakan milik pewaris. Benda
yang bukan sepenuhnya milik pewaris , tidak dapat dialihkan kepada ahli
warisnya. Bentuk harta peninggalan mungkin benda bergerak mungkin pula benda
tidak bergerak,berwujud atau berupa hak-hak tertentu.
Mengenai hutang-hutang
pewaris, ahli waris hanya bertanggung jawab terbatas jumlah harta peninggalan
pewaris saja. Artinya ahli waris tidak wajib membayar hutang-hutang pewaris
dengan harta pribadinya, melebihi harta yang ditinggalkan pewaris. Namun, dalam
masyarakat muslim Indonesia, berdasarkan akhlak, ahli waris selalu berusaha
selalu berusaha membayar hutang pewaris, kalau hutang pewaris kurang dari harta
peninggalannya .
Unsur ketiga adalah ahli
waris dan hak mereka masing-masing. Yang dimaksud dengan ahli waris adalah
orang atau orang-orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia. Disamping karena hubungan kekerabatan (darah) dan
perkawinan tersebut diatas, seseorang baru dapat menjadi ahli waris jika
memenuhi syarat-syarat berikut ini :
a.
Pada dasarnya
masih hidup waktu pewaris meninggal dunia
b.
Tidak ada
sebab-sebab yang menghalanginya menjadi ahli waris
c.
Tidak tertutup
oleh ahli waris yang lebih utama
Pada pokoknya
perincian ahli waris sebagai berikut :
a.
Anak laki-laki
dan anak perempuan
b.
Cucu, baik
laiki-laki maupun perempuan
c.
Ayah
d.
Ibu
e.
Kakek
f.
Nenek
g.
Saudara
laki-laki dan saudara perempuan kandung, seayah atau seibu
h.
Anak saudara
i.
Paman
j.
Anak-anak paman
Ahli waris yang
telah disebutkan diatas adalah ahli waris berdasarkan hubungan darah, sedang
ahli waris karena hubungan perkawinan adalah suami atau isteri. Kedudukan suami
isteri sebagai ahli waris ditetapkan dengan tegas dalam Al Qur’an Surat An Nisa
(4) ayat 12 yang artinya “Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
meraka(isteri-isterimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau
(setelah dibayar) hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak , maka para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu .
Jika seseorang meninggal baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu) maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga
itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris) Demikianlah ketentuan
Allah . Allah maha mengetahui, Maha Penyantun.”
Kewarisan karena hubungan perkawinan ini tidak menyebabkan hak kewarisan
apapun bagi kerabat suami ataupun kerabat isteri.
Dilihat dari segi perolehan
masing-masing, dalam hukum kewarisan Islam, dapat dibedakan menjadi dua macam
ahli waris, yaitu ahli waris yang sudah
ditentukan bagiannya secara pasti, dan ahli waris yang tidak ditentukan
bagiannya secara pasti.
Ahli waris yang ditentukan
bagiannya secara pasti , adalah ahli
waris yang mendapat bagian pasti mungkin setengah, seperempat, seperdelapan,
sepertiga, dua pertiga, dan seperenam. Ahli waris ini disebut ahli waris zulfara’id yaitu anak perempuan , cucu
perempuan, ibu , nenek , saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah,
saudara perempuan seibu, isteri, ayah, kakek, saudara laki-laki seibu dan
suami.
Ahli waris yang tidak
ditentukan bagiannya secara pasti dalam kasus tertentu , dalam keadaan tertentu
adalah mereka yang mendapat bagian seluruh harta warisan bila tidak ada ahli
waris zul fara’id lainnya yaitu
mereka yang memperoleh bagian tertentu , dalam keadaan tertentu tersebut
diatas, atau mereka mendapat sisa harta sesudah dikeluarkan bagian zul fara’id dengan pembagian yang
bersifat terbuka. Misalnya, didalam Al Qur’an disebutkan kewarisan anak
laki-laki , tetapi tidak dirinci jumlanhnya. Bila anak laki-laki mewaris
bersama anak perempuan disebutkan pula bandingan bagiannya yakni bagian anak
laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan .
Dari ketentuan ini diambil
garis hokum bahwa anak laki-laki mewaris bersama-sama dengan anak perempuan ,
mereka berhak atas seluruh harta peninggalan bila tidak ada ahli waris yang
lain. Hasil yang mereka peroleh dibagi dengan perbandingan satu laki-laki sama
bagiannya dengan dua orang perempuan. Hal yang sama berlaku juga jika yang
menjadi ahli waris adalah anaka pewaris yang terdiri dari anak laki-laki saja.
Disamping apa yang telah disinggung diatas , banyak lagi pengelompokkan ahli
waris dan bagiannya menurut Ahlul Sunnah atau Sunni dan menurut Syi’ah.
Dalam hukum
kewarisan Islam, disebutkan berbagai langkah yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan pembagian warisan secara tuntas. Sebelum warisan dibagi ,
diselesaikan dahulu hal-hal sebagai berikut :
1.
Soal-soal yang
berhubungan dengan pengurusan jenazah sampai ke penguburannya. Penguburan
jenazah dilakukan secara sederhana tidak berlebih-lebihan.
2.
Diselesaikan
terlebih dahulu hutang pewaris , baik hutang kepada Allah, misalnya nazzar,
zakat , dan hutang kepada manusia.
3.
Yang harus
diselesaikan adalah wasiat pewaris. Batas wasiat telah ditentukan oleh Nabi Muhammas SAW yakni tidak boleh lebih
dari sepertiga harta peninggalan (Amir Syarifuddin, 1985 :28-70).
Pelaksanaan pembagian
warisan dilakukan dengan cara dan teknik tertentu memungkinkan semua harta
peningglan dibagi habis menurut ketetapan Allah dan ketentuan Nabi Muhammad
seperti yang dirumuskan lebih lanjut oleh para mujtahid (orang yang memenuhi
syarat merumuskan garis-garis hokum untuk mengembangkan syari’at yang terdapat
dalam Al Qur’an dan Al Hadits atau sesuatu yang tidak diatur dalam kedua sumber
utama hukum Islam itu). Cara dan teknik-teknik pembagian warisan dapat
dipelajari dalam kitab-kitab hukum kewarisan Islam.
Jika dalam pelaksanaan
pembagian warisan terjadi perbedaan pendapat antara para ahli waris,
penyelesaiannya dalam tahap akhir , biasa banyak dilakukan oleh pengadilan.
Yang berhak menyelesaikan sengketa kewarisan menurut Islam antara sesama orang
Islam di Indonesia adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama juga berwenang
menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan
perceraian. Dalam system kekuasaan kehakiman di negara kita, Pengadilan Agama
adalah pengadilan tingkat pertama bagi orang Islam di Indonesia dalam
menyelesaikan sengketa perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf
, dan shadaqah. Diatasnya ada Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama disebut Peradilan Agama, yakni
peradilan bagi orang-orang Islam dalam menyelesaikan sengketa-sengketa tersebut
diatas . Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama, seperti halnya dengan pengadilan-pengadilan lain dalam Negara
Republik Indonesia , berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi
di negara kita.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Perkataan Mu’amalat mengandung makna
pengaturan hubungan (antara manusia). Hubungan yang diatur syari’at mu’amalat
adalah hubungan perdata dan hubungan publik. Dalam syari’at Islam tidak
dipisahkan antara hubungan individu dengan individu, individu dengan benda
(perdata) dengan hubungan individu dengan umum (masyarakat atau negara) yang
disebut dengan hubungan publik.
Tujuh puluh ayat atau
sekitar tiga puluh persen ayat mu’amalat adalah mengenai keluarga atau syari’at
yang mengatur hubungan individu dalam keluarga. Karena pentingnya kedudukan
keluarga dalam Islam, maka hubungan dalam keluarga diatur secara rinci dan
qath’i dalam syari’at Islam . Demikian pula dengan perkawinan dan kewarisan.
Kendatipun ikatan keluarga
menurut ajaran Islam adalah pertalian darah , namun, pertalian darah itu tidak
menimbulkan sistem penarikan garis keturunan secara patrilinial dan matrilineal
seperti dalam masyarakat tradisional yang berklen, bermarga, dan bersuku.
Karena pentingnya kedudukan
keluarga , menurut ajaran Islam, pembentukannya harus dilakukan menurut jalna
dan ketentuan yang telah ditetapkan yakni perkawinan . Perkawinan adalah suatu
lembaga. Menurut Anwar Harjono (Anwar Harjono, 1968 : 219) perkawina atau
pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan untuk membentuk keluarga bahagia.
Menurut hukum Islam , tujuan
perkawinan atau pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dan
menciptakan rumah tangga yang bahagia dan kasih sayang (mawadah warrahmah)
didalamnya.
Kendatipun perkawinan
dikehendaki berlangsung seumur hudup, namun, menurut hukum Islam perceraian
dapat saja terjadi. Baik cerai hidup atau cerai mati. Yang dimaksud cerai hidup
adalah perceraia yang terjadi sewaktu suami isteri masih hidup. Kemudian yang
disebut cerai mati adalah perceraian
yang terjadi karena salah seorang suami atau isteri meninggal dunia. Jika
terjadi demikian , timbullah masalah kewarisan yaitu masalah yang berhubungan dengan
peralihan hak atas benda seorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Ini telah mengikutsertakan
kewarisan Islam, yang merupakan kelanjutan sistem perkawinan Islam dan
merupakan bagian hukum keluarga.
Ada tiga unsur dalam
kewarisan Islam, yang memungkinkan peralihan harta peninggalan seorang
berlangsung sebagaimana mestinya. Unsur-unsur tersebut adalah pewaris, harta
warisan, dan ahli waris.
Pelaksanaan pembagian
warisan dilakukan dengan cara dan teknik tertentu memungkinkan semua harta
peningglan dibagi habis menurut ketetapan Allah dan ketentuan Nabi Muhammad
seperti yang dirumuskan lebih lanjut oleh para mujtahid (orang yang memenuhi
syarat merumuskan garis-garis hokum untuk mengembangkan syari’at yang terdapat
dalam Al Qur’an dan Al Hadits atau sesuatu yang tidak diatur dalam kedua sumber
utama hukum Islam itu).
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://septian-septiancom.blogspot.com/2011/03/asas-asas-hukum-islam.html
Bagus artikelnya kunjungi juga blog saya islamatika
BalasHapus